Mbela Tadho

Tradisi Mbela di Tadho awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Masyarakat Tadho melatih diri dalam adu ketangkasan untuk mempersiapkan diri menghadapi penindasan. Selain itu, Mbela juga dipandang sebagai warisan dari nenek moyang yang memiliki jiwa ksatria dan sering membantu suku-suku lain dalam peperangan.

Tradisi Mbela telah dijalankan oleh orang Tadho sejak lama turun secara temurun. Penyelenggaraan mbela dijalankan sesuai kalender budaya yang berlaku. Secara singat dapat digambarkan awal mula terjadinya Mbela sebagai berikut. Pada Zaman penjajahan Belanda ada beberapa aturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh penjajah untuk kepentingan penjajah. Masyarakat Tadho dipaksakan untuk menerima dan menjalankan kebijakan atau aturan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak penjajah Belanda, walaupun kebijakan atau aturan yang dibuat itu sangat merugikan masayarakat pribumi. Berangkat dari rasa tertekan dan tertindas maka orang Tadho pada saat itu ingin melakukan pemberontakan dan melawan penjajah Belanda, sehingga mereka berlatih untuk melakukan pembelaan fisik dengan adu ketangkasan untuk dapat membela diri mereka.

Adapun ceritera lain adalah bahwa nenek moyang orang Tadho adalah pemberani atau ksatria, setiap suku memiliki gelerang atau panglima perang. Suku Nanu galerang perangnya adalah Soli Mbulak, Suku Wire galerang perangnya bernama Meruk, Suku Wengge galerang perangnya bernama Sanggang Wengge. Para galerang perang ini yang senantiasa menjadi punggawa dalam melindungi sukunya dan juga orang Tadho pada zaman dahulu. Selain itu juga para galerang perang ini akan membantu kampung-kampung tetangga yang diserang oleh musuh atau penjajah jikalau diminta.

Dalam ceritera tersebut pernah terjadi perang antara orang Poma dan orang Boawae. Karena orang Poma tidak bisa menghadapi musuh sendiri maka mereka meminta bantuan kepada orang Tadho untuk melawan orang Boawae. Maka para galerang perang dari Tadho dan prajurit- prajurit dari Tadho membantu orang Poma yang sedang berperang, sehingga orang Pomapun menang berkat bantuan para galerang perang dan orang Tadho. Sehingga orang Boawae harus menyerahkan peralatan tinju yang mereka miliki kepada orang Tadho, dan tradisi Mbela menjadi milik orang Tadho yang diwariskan hingga saat ini. Pembuktian bahwa tradisi mbela ini sebagai kemenangan perang orang Tadho atas orang Boawae yaitu dari syair-syair yang didaraskan pada saat Melo, sogo bahasanya adalah bahasa Boawae

Dalam melaksanakan Mbela tentunya ada pihak atau suku yang melaksanakannya yaitu suku Nanu dan suku Wire. Mereka secara bersama-sama melaksanaan mbela dengan pembagian peran sesuai aturan budaya yang berlaku sejak zaman nenek moyang. Adapun pembagian peran tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Suku Nanu. Suku Nanu di bagi lagi lagi yaitu suku Tebha, suku Tuwa dan suku Wengge. Peran dari masing-masingnya adala; 1) suku Tebha berperan untuk upacara dan seremonial termasuk memasang api untuk memulai sekutu atau acara rame adat., 2) suku Tuwa, bereperan untuk upacara dan seremonial termasuk memasang api untuk memulai sekutu atau acara rame adat., 2) suku Tuwa, bereperan untuk membuat upacara di sapo likang (teghong empu nuci), 3 )suku Wengge berperan untuk melakukan larik atau caci.

2. Suku Wire Suku Wire dan suku nanu memiliki peran yang sama dalam pelaksanaan tradisi mbela, karena keduanya adalah pemilik dari tradisi mbela.

filosofi : Mbela merupakan tradisi yang diwariskan oleh leluhur orang Tadho yang didalamnya terdapat ritual budaya yang dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas hasil panen yang mereka terima. Selain itu, kegiatan atau tradisi tinju adat Mbela juga diyakni sebagai ritus yang dapat memprediksi atau sebagai penanda hasil panen masyarakat pada musim berikutnya. Dalam pelaksanaannya, Mbela juga merupakan olahraga bela diri andalan orang tadho yang melibatkan petinju yang menggunakan atribut atau peralatan tinju tradisional yang terbuat dari bahan-bahan alami. Setiap gerakan dalam Mbela tidak hanya memiliki makna fisik, tetapi juga makna spiritual yang sangat mendalam yang menghubungkan petinju dengan nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat setempat.

 Mbela bukan hanya sekadar pertarungan fisik, tetapi juga mengandung makna spiritual yang dalam. Tradisi ini diyakini sebagai bentuk syukur atas hasil panen dan sebagai sarana untuk memprediksi hasil panen di masa mendatang.

Tahapan-tahapan Mbela : 

1) Rentok yaitu kegiatan makan jagung, kacang- kacangan baru

Pada upacara rentok ini pemegang atau orang yang memegang tradisi mbela tidak diperkenankan atau pantang untuk mengkonsumsi pagi, jagung, kacang-kacangan yang baru dipanen sampai setelah dilakukan upacara atau ritual. Hingga saat ini Rentok dilakukan oleh 3 anak kampung yaitu di Tadho, Mboras, dan di Mulu.

2) Wau Nggong: dalam bahasa Indonesia adalah kegiatan menurunkan gong adat.

Pada acara Wau Nggong, pemegang gong atau moring wono woli sudah bisa mengkonsumsi makanan dari padi, jagung dan kacang-kacangan yang baru dipanen. Pada acara ini ada ritual yang dilakukan. Pelaku acara atau ritual Wau Nggong adalah dari Suku Nanu dan suku Wire. Pelaksanaaan Wau nggong dilakukan dengan ritual oleh pemilik gong atau moring wono woli dari suku Nanu dan suku Wire. Ritual Wau nggong dilakukan secara sakral, untuk meminta restu dari leluhur di rumah moring wono woli yang ditandai dengan memberikan sesajian seperti darah dan hati ayam di tungku adat (sapo likang) yang terletak di rumah pemilik gong (moring Wono Woli) Setelah memberikan sesajen dan meminta restu dari leluhur pada malam harinya dilanjutkan dengan acara rame adat dengan mendaraskan sayair dan lagu (tandak) mengelilingi api, kegiatan ini dilakukan dari malam hari hingga pagi (subu) oleh orang dari suku Nanu dan suku Wire. Dengan acara wau nggong menandakan bahwa acara mbela akan segera dimulai.

3) Mbela

Setelah dilakukan acara waunggong maka selanjutnya adalah acara Mbela. Mbela dilakukan dan 3 rangkaian kegiatan :

a. Mbela Loek: mbela loek adalah mbela (tinju adat) yang dilakukan oleh anak-anak. Pada pelaksanaan mbela loek tidak dibatasi berapa banyak partai yang terlibat, dan berapa ronde dalam bertinju. Ronde di Tadho diistilah dengan Waeng. Dibawah ini adalah gambar pelaksanaan mbela loek

b. Mbela Mesen: mbela atau tinju yang dilakukan oleh orang dewasa. Setelah semua pemangku pelaksana tradisi mbela berkumpul salah satu anggota suku akan membunyikan gong yang menandakan bahwa acara mbela mesen akan segera dilaksanakan sesuai dengan tahap- tahapannya. Rangakaian kegiatan mbela mesen akan dilakukan sesuai dengan kesepakatan, aturan dan larangan yang sudah disampaikan pada saat Nau nenang mbela. Ada hal penting yang perlu diperhatikan oleh semua peserta dalam pelaksanaaan mbela mesen yaitu dilarang untuk membunyikan gong, jikalau ada bunyi gong yang dipukuli secara sengaja ataupun tidak sengaja maka tinju adat (mbela) akan dihentikan dan dinyatakan selesai. Untuk itu para pemukul gong ataupun siapa saja yang hadir pada saat mbela (tinju adat) untuk memperhatikan ketentuan tersebut. Acara mbela mesen akan dibuka dengan 2 atau 3 partai anak- anak sebagai partai pembuka atau sebagai pemanasan untuk memulainya acara mbela mesen c. Mbela Tadho: dilakukan secara umum oleh masayarakat yang pada zaman dahulu dilakukan didepan rumah raja atas permintaan raja Tadho. Sebelum dilakukan mbela Tadho ritual yang dilakukan adalah memberikan sesajen untuk para leluhur dengan tujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan dan lain sebagainya.

Pelaksanaaan mbela Tadho tidak membutuhkan tahapan yang panjang seperti pada mbela loek dan mbela Mesen, namun ada beberapa tahapan yang dijalankan antara lain sebagai berikut. :

(1) Pemberian sesajen di tempat meriam

(2) Alasan dilakukan ditempat itu dan di depan meriam karena meriam yang ada dahulu digunakan oleh nenek moyang untuk membelah pulau yang merupakan tempat persembunyian penjajah. Nenek moyang pada zaman itu adalah pemberani dan berjiwa kesatria sehingga mereka berjuang untuk menentang dan melawan penjajah secara fisik yaitu dengan bertinju dan juga dengan menggunakan senjata tradisionalnya.

Bahan-Bahan atau Sarana yang Digunakan dalam Pelaksanaan Tradisi Mbela

Dalam melaksanakan tradisi mbela ada bahan-bahan atau sarana yang dibutuhkan. Adapun bahan berikut. bahan tersebut adalah sebagai berikut :

1) Pakaian: Pakain yang dimaksud adalah yang digunakan oleh semua pelaku dalam tradisi mbela baik yang digunakan dalam ritual maupun pakaian yang digunakan pada saat pelaksanaaan mbela. Pakaian yang digunakan adalah berupa sarung adat (dhowik), pengikat kepala, selendang adat, juga perlengkapan lainnya, sesuai dengan ketentuan budaya yang berlaku. Sedangkan untuk petinju biasanya menggunakan kain adat (dhowik) dan kain pengikat di pinggang (mbe).

2) Peralatan Tinju adat (mbela) Peralatan yang digunakan dalam tinju adat (mbela) antara lain sebagai berikut :

a. Wolet (alat yang digunakan untuk tinju) Wolet dibuat dengan cara kain dipintalkan dan memasukan dengan pecahan botol, pasir kasar dan kemudian di lilit dengan menggunakan lidi dari enau serta dibaluri dengan getah atau nanah pohon ara. Wolet dibuat dengan bahan-bahan tersebut agar pada saat tinju ketika tidak tangkas maka petinju akan terluka dan mengeluarkan darah. Menurut keyakinan bahwa semakin banyak darah yang dikeluarkan maka akan menandakan semakin berlimpah hasil panen dari masyarakatnya.

3) Gendang Gendang alat musik yang digunakan untuk bunyi-bunyian yang dimainkan bersama gong dalam mengiringi pelaksanaan mbela

4) Parang adat Parang adat yang digunakan adalah sebagai lambang ksatria karena pada dasarnya mbela adalah sebuah tradisi selain sebagai ucapan syukur atas hasil panen juga menunjukan keberanian dalam melakukan pertarungan fisik pada masa penjajahan Dibawah ini salah satu gambar parang yang dibawah oleh para pelaku mbela

5) Bahan makanan dan hewan kurban yang di perlukan pada pelaksanaan mbela Bahan makanan yang disiapkan adalah mulai dari tahap persiapan samapai pada tahap penutupan mbela. Adapun bahan makanan dan hewan kurban yang disiapkan antara lain sebagai berikut beras, ayam, babi.

img

Whether you work from home or commute to a nearby office, the energy-efficient features of your home contribute to a productive and eco-conscious workday. Smart home systems allow you to monitor and control energy usage, ensuring that your environmental impact remains m

Comments are closed