Menelusuri Sejarah Desa Tadho

“Nunuk Nelo Renggong Tabi Talo

Riwumai Potimai Rajamai

Muku Pada Lele Jawa

Sa Tengu Wole Telu”

Berapa banyak pun burung yang berteduh, dahan tidak akan patah

Orang baik, orang jahat, semuanya diterima (di Tadho)

Suku Tadho mengayomi ketiga (sub)suku; Wengge, Wire, dan Nanu

Toleransi seringkali diajarkan di dalam ruang persegi penuh dengan meja dan kursi. Namun, saat melihat dunia nyata, berapa banyak ketidakselarasan hingga selisih paham yang terjadi di tanah yang katanya beraneka tapi tetap satu jua?

Selamat datang di Desa Tadho dimana toleransi diresapi dan diamini di setiap penjurunya. Tempat perbedaan dirangkul dan dirayakan. Sebuah rumah untuk semua yang datang, singgah, bahkan berlalu. 

Menelusuri Sejarah Tadho 

Saat berbicara tentang Tadho hari ini, perlu penelusuran panjang bagaimana desa yang berada di pesisir Riung Utara ini akhirnya bisa terbentuk. Konon, leluhur Tadho datang dari Gowa, Sulawesi Selatan. Para Umpo Nusi (sebutan leluhur dalam bahasa lokal) merupakan para pengembara tangguh. Dari Gowa, mereka berpindah ke Bima. kemudian, mereka beranjak ke Watujaji, Wolomeze, hingga akhirnya membentuk suku-suku di Kurubhoko. Suku tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu Tadho, Nanu, dan Wire. Suku Nanu terbagi lagi menjadi subsuku Theba, Tuwa, dan Wengge. Sebagai upaya untuk melindungi diri dari ancaman musuh, ketiga suku ini pindah ke Wewo Tadho (Gunung Tadho). Pemukiman terbagi menjadi empat tingkat. Tingkat paling bawah adalah subsuku Wengge, kemudian Nanu, semakin ke atas Wire, dan paling puncak Tadho. Dalam perjalanannya, seluruh suku sepakat untuk dipimpin satu raja, yaitu raja Tadho yang bernama Raja Nggoti. Ia berperawakan kecil, tetapi wibawanya sebagai seorang pemimpin diakui bahkan oleh Lanong (isitlah lokal untuk Portugis) hingga diberikan meriam sebagai bentuk pengakuan kekuatannya. Setelah tahun 1942, masyarakat Tadho memutuskan untuk kembali mencari penghidupan yang lebih baik. Kali ini, mereka memutuskan untuk ke arah pesisir, kecuali subsuku Wengge yang memutuskan untuk masuk ke pedalaman. Perjalanan dilanjutkan ke Gholo Mbong, lalu mampir di Mbong Ras, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di Gholo Oting atau yang dikenal sebagai Tadho hari ini. 

Merangkul Keberagaman, Merayakan Perbedaan

Dengan sejarah panjang masyarakat Tadho yang terus-menerus berpindah, satu hal yang akhirnya mejadi tetap, yaitu keterbukaan terhadap perbedaan. Kepercayaan yang dianut masyarakat Tadho hari ini adalah Katolik dan Islam. Namun, penyebutan identitas agama merupakan perbuatan yang membeda-bedakan sehingga dianggap sebagai perilaku kurang terpuji. Oleh karena itu, masyarakat Tadho lebih menggunakan istilah Ata Eta dan Ata Lawu. Istilah ini merujuk pada pemukiman penduduk dimana pemeluk agama Katolik dominan di wilayah atas (Ata Eta) dan agama Islam di wilayah bawah (Ata Lawu). Tidak hanya itu, masyarakat Tadho juga memiliki satu tempat ibadah yang digunakan oleh kedua agama. Sayangnya, rumah ibadah tersebut sudah tidak berfungsi karena bangunannya yang sudah hancur oleh zaman. Namun, perayaan perbedaan dalam masyarakat Tadho masih mengalir hingga hari ini. Pada ritual adat yang berkaitan dengan penghormatan terhadap leluhur, misalnya, masyarakat Tadho dari agama apa pun tetap khidmat mengikuti prosesi dari awal hingga akhir. Sebagian besar ritual dilengkapi dengan penyembelihan hewan ternak (ayam, babi, sapi, hingga kerbau) yang kemudian akan disantap bersama sebagai hidangan utama. Masyarakat yang beragama Islam pun dapat bergabung karena apabila daging yang disembelih tidak halal, maka akan disediakan substitusi dan disembelih sesuai syariat. Lebih jauh lagi, umat Muslim dan Katolik saling berpartisipasi dalam perayaan keagamaan, seperti lebaran dan natal. Selain itu, dalam kekerabatan masyarakat Tadho, perbedaan agama menjadi hal yang biasa. Masyarakat Tadho percaya bahwa agama adalah urusan individu dan Tuhannya sehingga keakraban terus dijaga rekat di tengah perbedaan tersebut.

“Kami Semua adalah Pendatang, maka Semuanya Harus Diterima”

Selain keragaman agama, masyarakat Tadho juga memiliki keragaman identitas budaya seperti suku. Penduduk Tadho juga terdiri dari suku Bajo dan Selayar yang sama-sama bermigrasi dari pulau yang berbeda. Namun, sebagaimana menyebut agama suatu individu dianggap sebagai perilaku tidak terpuji, penyebutan “pendatang” pun tidak diperkenankan pada konteks kependudukan. Masyarakat Tadho lebih memilih untuk menyebutnya dengan istilah “mereka yang datangnya menyusul” bagi suku-suku yang menjadi bagian dari Tadho. Hal ini berdasarkan faktor historis masyarakat Tadho sebagai kelompok yang terus bermigrasi dari satu tempat hingga akhirnya menetap di Gholo Oting (Tadho hari ini) sehingga mereka percaya bahwa diri mereka pun pendatang. Oleh karena itu, masyarakat Tadho sangat terbuka dengan seluruh orang yang datang dan menyambut baik 

“Apa pun agamamu, dari mana kamu berasal, selama kamu di Tadho, kami menerima dengan tangan terbuka”

img

Whether you work from home or commute to a nearby office, the energy-efficient features of your home contribute to a productive and eco-conscious workday. Smart home systems allow you to monitor and control energy usage, ensuring that your environmental impact remains m

Comments are closed